Oleh: sugiarto | 10 Agustus 2010

barangkali itu cinta..

Sewaktu masih duduk di sekolah dasar, aku berkenalan dengan seorang anak perempuan. Aku tak perlu menyebutkan namanya, sebut saja Bunga (seperti dalam koran atau teve, perempuan yang tak mau disebut namanya selalu dipaksa bernama Bunga, bukan?). Ketika kami bertemu dan saling menatap, ada perasaan janggal yang mengubak hatiku. Mendesir gamang di seluruh persendianku, membuatku jadi mules dan tak kuat menatap matanya terlalu lama.

Aku suka dia. Aku tak tahu pada mulanya, tetapi aku jadi tahu ketika aku mendapati diriku suka mengejarnya setiap jam istirahat. Ia lari, tentu saja. Tetapi setiap kali ia terhenti karena capek meloloskan diri dari kejaranku, aku tak pernah menangkapnya! Aku justru mengejeknya, mencibirnya, entah kenapa. Lalu dia balik mengejarku. Terus begitu berlangsung cukup lama.

Hingga pada suatu hari (seperti dalam cerita, seperti biasanya, selalu ada “suatu hari”—momentum yang sepertinya paling ditunggu para pendengar dan pembaca dongeng, dan karena mengetahui hal itu, para pendongeng biasanya melafalkan kalimat “pada suatu hari” dengan mimik yang kadang berlebihan, seperti mimik wajak Pak Habudi di Republik Mimpi itu, lho!), anak perempuan itu tak lagi lari ketika kukejar. Ia justru santai duduk saja di kursi taman sekolah. Maka duduklah aku di sampingnya. Tak lama, ia mengeluarkan kotak bekalnya. Wangi bolu nanas segera menyandera hidungku.
“Ini untukmu!”, katanya ketika memberikan sepotong kue bolunya untukku. Aku tersintak. “Untukku?”, tanyaku. Ia mengangguk. Dengan malu-malu kuterima sepotong kue bolu itu, “makasih ya!?”.
Sejak itu, tak ada lagi dua kanak-kanak yang saling berkejaran setiap jam istirahat. Yang tersisa adalah dua kanak-kanak yang selalu berbagai bekal dari kotak bekalnya masing-masing.

Barangkali, benar kata Dee, cinta adalah saling bertukar dan saling menangkap. Seperti dua kanak-kanak dalam ingatanku yang selalu saling bertukar bekal. Saling bertukar tatap ketika keduanya duduk bersama mengistirahatkan tungkai kaki mereka yang lelah, setelah sekian lama saling berkejaran.

***

Tapi, pastilah itu bukan cinta! Sebab kini aku merasa cinta selalu tak pernah tepat ketika berusaha didefinisikan. Aku tak mau membatasinya dengan kata “adalah” atau “pastilah”, aku tak mau merusak ingatanku tentang dua kanak-kanak yang saling bertukar bekal. Sebab setiap kali kuceritakan, aku sealalu merasa gagal menceritakan.

Andai saja tak ada ingatan. Mungkin kita tak perlu risau terhadap jejak yang kita tinggalkan. Biarlah masa lalu jadi milik masa lalu. Maka kini jadi milik masa kini. Dan esok menjadi milik esok saja. Kalau saja begitu, barulah aku bisa mendefinisikan cinta………(copas dari sebuah koment di blognya dee)


Tanggapan

  1. mungkin cinta memang tidak untuk didefinisikan, tapi untuk dirasakan.. 😀

  2. keren

    • oh,ya…….?

  3. hmmm…mantaf…nikmati yg ada jgn cuba ingkari yang sudah ada…hmm

    • @singgih,lha mosok mo nikmati yang ga ada….mengkhayal,nu…


Tinggalkan komentar

Kategori