Oleh: sugiarto | 9 Agustus 2010

promosi,beli satu gratis dua…

Sebagian anda yang membaca judul tulisan di atas,mungkin mengira saya salah tulis.Mana ada promosi belinya satu gratisnya dua,berarti bayar satu barang dapat tiga barang,dong?Wah,bisa bangkrut nanti yang jualan,kan?Tetapi tidak,maksud saya memang seperti itu,mengeluarkan biaya untuk satu hal,dan mendapatkan tiga hal sekaligus.Konsep ini sebetulnya bisa diaplikasikan pada banyak hal,baik anda yang menjual produk manufaktur maupun jasa.Tetapi khusus saat ini,saya ingin memaparkan konsep ini dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil.Terdengar mulai serius,ya…
Tahun 2010,dicanangkan presiden SBY,sebagai internet masuk desa.Diharapkan dengan adanya program ini seluruh desa di Indonesia bisa terhubung satu sama lain,untuk saling memberikan informasi tentang potensi dan kebutuhan masing masing desa sehingga kesejahteraan petani di pedesaan bisa ditingkatkan.Hanya langkah konkrit dan skema kerjanya kita belum tahu pasti.Apakah akan membagi bagi laptop kepada seluruh desa seperti program kampanyenya Prabowo waktu pemilu kemarin yang kita kenal dengan program sejuta laptop per tahun untuk mahasiswa,ataukah dengan cara memberikan uang tunai kepada kepala desa seperti pemberian BLT kemarin,kita belum tahu pasti juga.
Kalau saya pribadi(saya bukan siapa siapa loh)lebih tertarik dengan konsepnya Grameen Foundation yang diwujudkan Muhammad Yunus, peraih nobel beberapa tahun lalu yang berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di Bangladesh,bahkan sekarang telah meluas ke berbagai negara.
Intinya adalah modal bergulir.Membantu satu keluarga miskin hingga cukup mampu berdiri sendiri,setelah itu keluarga miskin yang sudah bisa berdiri tadi harus mengembalikan modalnya untuk digunakan untuk membantu keluarga miskin yang lainnya lagi,demikian seterusnya..
Khusus untuk membuat masyarakat pedesaan lebih melek internet ini,saya memiliki pemikiran yang kurang lebih sama.Dana anggaran untuk desa kecil saya di Purwodadi sono,setahun sekitar 70 jutaan.Dana sebesar ini memang kecil sekali untuk membangun desa yang terdiri dari 6 dusun.Hanya sebesar pengeluaran satu keluarga menengah yang hidup di kota.Bahkan di bawahnya…Tetapi kita tidak akan membicarakan ini,karena bantuan bantuan lain untuk desa masih ada.Yang saya maksud adalah,dengan memanfaatkan anggaran belanja desa itu,kita bisa menyekolahkan satu orang pemuda terpilih untuk dididik menjadi pemuda yang melek internet.Entah dengan mengambil kursus,atau dikuliahkan setara D3 saja.Pihak desa bisa saja memilih dari keluarga kurang mampu tetapi tamat SMU dan tidak bisa kuliah.Saya tahu,anda mungkin berpikir,lha nanti setelah pemuda itu punya ijazah D3 malah terus mencari pekerjaan di kota,mana mau dia hidup di kampung yang tidak menarik secara ekonomi itu?Sabar…Sebelum mereka “disekolahkan”pihak desa,ada persyaratan yang harus dia sanggupi.Yaitu,selama setahun pertama setelah dia menyelesaikan kuliah/kursusnya,dia harus mendidik 2(dua) orang pemuda yang lainnya sampai memiliki ilmu yang setara dengan dirinya.Trus komputernya dari mana,Pak?Tenang,disediakan pihak desa.Apakah desa akan mampu menyediakan?Harga komputer saat ini jauh lebih murah dibanding beberapa tahun silam.Dengan anggaran 3.5-4juta,kita sudah bisa memilih laptop yang cukup memadai.Koneksi internetnye?Internetpun kini tidak lagi mahal.Mulai dari 100ribuan sebulan sudah bisa pakai internet.Setelah pemuda pertama berhasil mendidik dua pemuda,dia bebas,boleh tetap di desa untuk mengbdikan ilmunya,atau pergi ke kota mencari penghidupan.
Putaran kedua dimulai,dan kedua pemuda hasil didikan pemuda pertama akan menularkan ilmunya kepada empat pemuda lainnya.Demikian seterusnya hingga akhirnya akan semakin banyak pemuda yang melek internet.Semakin banyak orang yang melek internet,akan menciptakan demand baru,adanya warnet.Beberapa tahun ke belakang,saya belum membayangkan ada warnet di kecamatan saya.Tetapi waktu pulang mudik tahun ini,sudah ada.Teman saya Adi Susanto,jeli melihat peluang ini..
Lebih penting dari itu adalah terbentuknya komunitas nantinya.Jaringan jaringan.Networking.Dari beragam komunitas yang saling terhubung inilah nantinya mereka bisa sharing,berbagi info tentang berbagai hal.Potensi yang dimiliki desanya,peluang usaha,kelebihan dan kelemahan desanya,intinya mereka akan bisa membuat analisa SWOT sendiri,untuk menentukan peluang usaha apa yang bisa digarap.Karena dengan terhubung ke internet,mereka bisa belajar apa saja.Setelah pinter,mereka juga bisa berbagi kepada yang lainnya lagi dengan menulis di blog dan sebagainya.
Terdengar mudah untuk diucapkan tetapi mustahil diwujudkan?Mungkin untuk sebagian orang iya,tetapi tidak untuk sebagian yang lain.Kuncinya ada pada good will dari aparat desa setempat.Kalau perangkatnya sungguh sungguh ingin memajukan desanya dan tidak hanya berorientasi hanya pada uang semata,gagasan ini bukan tidak mungkin diwujudkan.Akan tetapi kalau aparatnya tetap saja sibuk mengumpulkan uang untuk mengembalikan modal pencalonannya,bahkan dengan cara tidak terpuji sekalipun,kita tidak akan pergi kemana mana.Memang tidak bisa dipungkiri,pencalonan kepala desa di Kabupaten Grobogan,memakan biaya yang tidak sedikit.Satu teman SMP dan satu teman SMA saya mengalaminya.Hebatnya lagi,dua duanya gagal..Bahkan untuk bisa jadi Kepala Dusun yang administrasi dan lainnya hanya sampai tingkat kelurahan saja,memakan biaya 25 juta.Di desa lain yang lebih sejahtera malah bisa mencapai 100 juta.Nah sejauh praktek praktek uang seperti ini masih berjalan dan dianggap jamak oleh masyarakat kita,angan angan untuk membangun desa yang bertumpu pada potensi yang ada seperti dikemukakan di atas,tentu akan semakin jauh panggang dari api.
Kepada teman teman yang sekarang jadi kepala dusun,kepala desa,atau camat sekalipun,mari kita renungkan sejenak.Coba kita tanyakan pada diri kita sendiri,apa sebetulnya yang kita inginkan dari pekerjaan kita saat ini.Hidup kita saat ini.Mencari penghasilan yang lebih baik?Atau melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang banyak?Kalau pertanyaan itu diajukan kepada saya,saya mau pilih dua duanya.Kita bukan di bangku sekolah,boleh saja memilih dua jawaban untuk satu pertanyaan.Dan nilai kita justru bertambah,bukan berkurang.Tetapi praktek seperti itu kan sudah biasa,mana bisa dihilangkan?Begitu pembelaan sebagian kita.Sebagian yang lain,tidak perlu pembelaan,mereka langsung ambil tindakan.Take action!Dimulai dari hal hal kecil.Dimuai dari diri sendiri.Dan dimulai saat ini juga.Salam.


Tanggapan

  1. Itulah Om tantangannya, di era “ngurusin perut” (mengurus perut loh ya, bukan membuat perut menjadi kurus) ini banyak orang (termasuk aku, gak munafik loh) yg cenderung tdk menyukai tantangan & cari yg aman2 saja.
    Coz “tanpa pamrih” itu kayaknya cuman ada di Pendidikan Moral Pancasila (mata pelajaran sekolah yg sekarang diganti istilahnya menjadi PPKN) dgn kata lain “hanya omong kosong” sbb u/ bgtu psti pilih2 “downline” org2 dkt aja psti..

  2. 100% apik pak, coba pak SBY maos tulisan iki….

    • ndak perlu nunggu uluran pemerintah…kalo kita mau,bisa saja kita mulai dari diri sendiri dengan apa yang kita mampu lakukan….
      budaya primordialisme yang begitu kuat di indonesia itu menciptakan masyarakat yang cenderung mudah mengikuti tokoh panutan.kalo tokoh panutan itu,misalnya pak RT,apalagi pak lurah telah membuat langkah yang mampu menjadi “trigger”/penylenthik terhadap masyarakat,mereka akan mudah mengikuti,bahkan ikut berperan banyak…lihat saja!!


Tinggalkan Balasan ke Ayang Ayangku Batalkan balasan

Kategori